Dalam beberapa minggu terakhir ini, anda pasti sudah familiar dengan judul artikel diatas: Fiscal Cliff, atau disebut juga jurang fiskal. Istilah fiscal cliff tersebut tiba-tiba saja mengemuka ke publik dan menjadi populer belakangan ini, setelah Barack Obama memenangkan Pilpres Amerika Serikat (AS) pada tanggal 6 November 2012. Tapi jika dipelajari lebih lanjut, ‘kasus’ fiscal cliff ini berpangkal pada salah satu kebijakan yang dilakukan oleh Presiden AS, dalam hal ini George W. Bush, pada tahun 2001, atau hampir 12 tahun yang lalu alias sudah cukup lama. Nah, disini kita akan merunut kronologisnya.
The story began in 2001, dimana ketika itu (tepatnya Juni 2001) Presiden Bush menandatangani Undang-Undang (Act) tahun 2001 tentang Pajak. Secara umum, Undang-Undang ini menurunkan tarif pajak bagi banyak warga AS, dan melonggarkan kriteria bagi para penerima tunjangan pensiun (sehingga jumlah penerima tunjangan pensiun menjadi lebih banyak). Tujuan dari pemberlakuan Undang-Undang tersebut adalah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi AS. Pada tahun 2003, tepatnya pada Mei 2003, Presiden Bush kembali menandatangani Undang-Undang tahun 2003, yang intinya sama: Menurunkan tarif pajak, dan kali ini tujuannya adalah untuk meningkatkan lapangan pekerjaan. Kedua Undang-Undang tersebut (Act 2001 dan 2003) lebih dikenal sebagai ‘Bush tax cuts’, dan dijadwalkan akan habis masa berlakunya pada tahun 2010. Meski kedua Undang-Undang diatas memiliki tujuan positif, yakni untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan lapangan pekerjaan, namun ada implikasinya.
Para ekonom dan peneliti di Heritage Foundation sempat menerbitkan laporan bahwa pemberlakuan kedua Undang-Undang diatas akan menyebabkan ‘ledakan’ jumlah utang AS dan juga menyebabkan defisit dari tahun ke tahun, karena berkurangnya pendapatan negara dari pajak dan juga meningkatnya anggaran belanja negara (untuk dana pensiun tadi). Karena itulah ketika tahun 2010 akhirnya tiba, dimana ketika itu Bush tax cuts akan segera habis masa berlakunya, terjadi perdebatan sengit diantara para politisi AS terkait apakah kebijakan tax cuts tersebut akan dilanjutkan atau tidak, dan jika dilanjutkan, gimana caranya? Karena peningkatan utang dan defisit yang terjadi pada neraca pembayaran AS tidak mungkin dibiarkan begitu saja.
Hingga akhirnya, pada tanggal 16 Desember 2010, Kongres Senat dan DPR AS menyetujui Undang-Undang tahun 2010, yang sehari kemudian ditanda tangani oleh Presiden Obama. Undang-Undang tersebut pada intinya sama saja dengan Bush tax cuts, yakni penurunan tarif pajak. Hanya bedanya, jika Bush tax cuts lebih dikenakan bagi warga AS kelas atas, maka ‘Obama tax cuts’ ini lebih dikenakan bagi warga AS kelas menengah dengan penghasilan kurang dari US$ 250 ribu per tahun. Sementara warga AS yang kaya raya kembali membayar pajak yang cukup tinggi. Namun kebijakan Obama di tahun 2010 tersebut tidak menghasilkan solusi atas meningkatnya defisit dan jumlah utang AS, melainkan hanya menundanya sampai masa berlaku Undang-Undang tahun 2010 tersebut berakhir, yakni di bulan Desember 2012 alias sekarang. Secara keseluruhan, pemberlakuan Undang-Undang tahun 2010 telah memberikan dampak moneter (utang) sebesar US$ 858 milyar terhadap perekonomian AS.
Jadi pertanyaannya sekarang, apa yang akan dilakukan oleh Pemerintah AS untuk mengembalikan dana sebesar US$ 858 milyar tersebut? Atau mungkin, bagaimana jika ‘bom waktunya’ kembali ditunda meledaknya hingga dua atau tiga tahun mendatang? The Congressional Budget Office (CBO) atau Kantor Anggaran Kongres AS telah memberikan dua opsi pada Senat, DPR, dan Pemerintah AS.
Opsi pertama, kebijakan fiscal cliff harus diberlakukan, dimana pajak akan kembali dinaikkan dan anggaran belanja negara akan dikurangi. Jika opsi ini yang dipilih, maka berikut ini adalah beberapa implikasinya:
Opsi kedua, kebijakan tax cuts diperpanjang, dimana pajak tidak jadi dinaikkan dan anggaran belanja negara juga tidak jadi dikurangi. Jika opsi ini yang dipilih, maka berikut adalah beberapa implikasinya: Pendapatan negara akan tetap sebesar 18% dari PDB pada tahun 2021 mendatang Utang AS akan meningkat dari 69% PDB pada tahun 2011, menjadi 100% pada tahun 2021, dan 190% pada tahun 2035.
Jadi pertanyaannya sekarang, kebijakan manakah yang akan dipilih oleh Obama dkk? Of course, kita cuma hanya menunggu tanpa bisa menebak-nebak. Deadline dari keluarnya keputusan soal apakah kebijakan fiscal cliff atau tax cuts ini yang dipilih, adalah pada tanggal 31 Desember 2012 mendatang. Tapi sembari menunggu, mari kita cek pengaruh dari setiap keluarnya kebijakan Pemerintah AS terkait pajak ini terhadap market, dalam hal ini pergerakan indeks saham.
Fiscal Cliff, Debt Ceiling, Dow Jones, dan IHSG
Cerita soal fiscal cliff ini sedikit banyak mirip dengan cerita berjudul ‘Debt Ceiling Crisis’, yang sempat melanda Amerika pada Juni 2011. Ketika itu permasalan yang terjadi juga masih seputar utang, dimana Amerika dihadapkan pada dua pilihan: 1. Meningkatkan plafon utang untuk menghindari gagal bayar/default, atau 2. Membayar utang dengan cara meningkatkan pajak dan memotong anggaran belanja negara.
Jika opsi pertama yang dipilih, maka itu sama seperti menunda waktu meledak dari ‘bom utang’, dimana defisit dan jumlah utang AS akan meningkat signifikan. Namun sisi positifnya, dalam jangka pendek perekonomian AS akan baik-baik saja. Sementara jika opsi kedua yang dipilih, maka itu sama seperti fiscal cliff yang sudah kita bahas diatas: AS akan mengalami pertumbuhan ekonomi minus, namun defisit dan kenaikan jumlah utang AS akan berkurang, dimana hal itu bagus untuk jangka panjang.
Seperti cerita fiscal cliff yang sedang terjadi pada saat ini, ketika itu juga sempat terjadi perdebatan di kongres terkait debt ceiling. Hingga akhirnya pada Agustus 2011, keluar keputusan bahwa opsi yang dipilih adalah opsi pertama, dimana dipastikan bahwa perekonomian AS akan tetap tumbuh dalam jangka pendek. Secara teori, seharusnya hal itu direspon positif oleh pasar (karena tidak terjadi kenaikan pajak atau pemotongan subsidi dan tunjangan seperti yang dikhawatirkan).
Namun faktanya, setelah salah satu lembaga pemeringkat terkemukan di dunia, Standard & Poor’s (S&P), menurunkan rating utang AS, Dow Jones langsung jatuh berantakan, hanya dalam empat hari setelah Undang-Undang terkait debt ceiling ditandatangani (oleh Presiden Obama). Penurunan Dow ketika itu langsung diikuti oleh hampir seluruh indeks saham di seluruh dunia, termasuk IHSG. Anda mungkin masih ingat koreksi besar yang melanda IHSG pada Agustus – September 2011 lalu. Jadi dengan asumsi bahwa model kebijakan yang dipilih Obama kali ini adalah kembali fokus pada tujuan jangka pendek, maka opsi kebijakan fiscal cliff tidak akan dipilih, sehingga tetap tidak ada kenaikan pajak ataupun pemotongan tunjangan pensiun bagi warga Amerika.
Meski begitu, market tetap akan jatuh karena kekhawatiran akan meningkatnya defisit Amerika, yang mungkin akan ditandai dengan penurunan rating utang oleh salah satu dari Moody’s atau Fitch (soalnya S&P sudah), ataupun hal lainnya. Hanya memang, menurut penulis yang menjatuhkan bursa-bursa saham diseluruh dunia ketika itu adalah penurunan rating utang AS oleh S&P, dan bukan karena keputusan debt ceiling-nya. Artinya, jika nanti Obama lebih memilih untuk memperpanjang tax cuts dan menghindari fiscal cliff, maka pergerakan market, entah itu tetap bergerak normal atau terkoreksi, akan bergantung pada apa yang akan terjadi selanjutnya.
Sebaliknya, jika kebijakan fiscal cliff diberlakukan, maka market akan langsung jatuh tanpa perlu menunggu peristiwa apapun lagi. Karena jika fiscal cliff yang dipilih, maka bisa dipastikan bahwa pertumbuhan ekonomi Amerika akan negatif pada Semester Pertama 2013.
Lalu bagaimana dengan isu-isu lokal yang mungkin juga berpotensi terhadap pergerakan bursa lokal alias IHSG? Untungnya (atau sayangnya?) isu-isu politik di dalam negeri lebih diwarnai oleh kasus-kasus korupsi atau nikah kilat yang dilakukan oleh politisi tertentu, ketimbang isu perdebatan penyusunan Undang-Undang oleh para anggota DPR (yang mungkin itu karena para anggota dewan lebih suka jalan-jalan keluar negeri ketimbang bikin Undang-Undang).
Dan setiap kali KPK menetapkan status tersangka terhadap kader-kader partai tertentu, sejauh ini hal itu tidak berdampak apapun terhadap market. Sementara terkait isu ekonomi, boleh dibilang juga tidak ada cerita apa-apa kecuali beberapa isu kecil terkait kenaikan upah minimum buruh dan defisit neraca perdagangan. Penulis katakan isu kecil, karena secara keseluruhan perekonomian Indonesia relatif masih bagus (meski, kalau boleh jujur, tidak sebagus Singapura, India, atau Tiongkok), dan selama ini faktor-faktor yang mempengaruhi bursa lebih merupakan faktor luar ketimbang faktor dalam negeri. Termasuk ketika terjadi koreksi super-besar di tahun 2008 lalu, penyebabnya juga karena krisis mortgage di Amerika, sementara di dalam negeri sebenarnya tidak terjadi krisis apa-apa. Jadi dalam hal ini, maka mau tidak mau kita harus mencermati perkembangan soal fiscal cliff ini, ketimbang mengamati isu-isu lokal (karena memang tidak ada yang signifikan).
Namun satu hal, pertanyaan terkait terjadinya koreksi pada IHSG mungkin bukanlah soal apakah koreksi itu akan terjadi ataukah tidak, melainkan kapan. Secara fundamental, valuasi saham-saham di BEI sudah cukup tinggi, sementara dana asing yang masuk ke bursa juga sudah cukup banyak, yakni mencapai Rp14.2 trilyun sepanjang tahun 2012 hingga ketika artikel ini ditulis (bayangkan apa yang terjadi jika dana sebesar itu ditarik keluar dari pasar?). Jadi sekarang? Ya tinggal tunggu pemicunya saja, karena IHSG juga sudah susah untuk naik ke posisi psikologis baru, katakanlah 4,500 atau diatasnya. Dan entah kebetulan atau tidak, pemicu itu saat ini memang sudah ada, tinggal menunggu waktu meledaknya.
Nama pemicu tersebut adalah: ‘Fiscal Cliff’. Dan jangan lupakan juga : Krisis Spanyol (just because the media doesn’t talk about itu, doesn’t mean the crisis is over).
The story began in 2001, dimana ketika itu (tepatnya Juni 2001) Presiden Bush menandatangani Undang-Undang (Act) tahun 2001 tentang Pajak. Secara umum, Undang-Undang ini menurunkan tarif pajak bagi banyak warga AS, dan melonggarkan kriteria bagi para penerima tunjangan pensiun (sehingga jumlah penerima tunjangan pensiun menjadi lebih banyak). Tujuan dari pemberlakuan Undang-Undang tersebut adalah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi AS. Pada tahun 2003, tepatnya pada Mei 2003, Presiden Bush kembali menandatangani Undang-Undang tahun 2003, yang intinya sama: Menurunkan tarif pajak, dan kali ini tujuannya adalah untuk meningkatkan lapangan pekerjaan. Kedua Undang-Undang tersebut (Act 2001 dan 2003) lebih dikenal sebagai ‘Bush tax cuts’, dan dijadwalkan akan habis masa berlakunya pada tahun 2010. Meski kedua Undang-Undang diatas memiliki tujuan positif, yakni untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan lapangan pekerjaan, namun ada implikasinya.
Para ekonom dan peneliti di Heritage Foundation sempat menerbitkan laporan bahwa pemberlakuan kedua Undang-Undang diatas akan menyebabkan ‘ledakan’ jumlah utang AS dan juga menyebabkan defisit dari tahun ke tahun, karena berkurangnya pendapatan negara dari pajak dan juga meningkatnya anggaran belanja negara (untuk dana pensiun tadi). Karena itulah ketika tahun 2010 akhirnya tiba, dimana ketika itu Bush tax cuts akan segera habis masa berlakunya, terjadi perdebatan sengit diantara para politisi AS terkait apakah kebijakan tax cuts tersebut akan dilanjutkan atau tidak, dan jika dilanjutkan, gimana caranya? Karena peningkatan utang dan defisit yang terjadi pada neraca pembayaran AS tidak mungkin dibiarkan begitu saja.
Hingga akhirnya, pada tanggal 16 Desember 2010, Kongres Senat dan DPR AS menyetujui Undang-Undang tahun 2010, yang sehari kemudian ditanda tangani oleh Presiden Obama. Undang-Undang tersebut pada intinya sama saja dengan Bush tax cuts, yakni penurunan tarif pajak. Hanya bedanya, jika Bush tax cuts lebih dikenakan bagi warga AS kelas atas, maka ‘Obama tax cuts’ ini lebih dikenakan bagi warga AS kelas menengah dengan penghasilan kurang dari US$ 250 ribu per tahun. Sementara warga AS yang kaya raya kembali membayar pajak yang cukup tinggi. Namun kebijakan Obama di tahun 2010 tersebut tidak menghasilkan solusi atas meningkatnya defisit dan jumlah utang AS, melainkan hanya menundanya sampai masa berlaku Undang-Undang tahun 2010 tersebut berakhir, yakni di bulan Desember 2012 alias sekarang. Secara keseluruhan, pemberlakuan Undang-Undang tahun 2010 telah memberikan dampak moneter (utang) sebesar US$ 858 milyar terhadap perekonomian AS.
Jadi pertanyaannya sekarang, apa yang akan dilakukan oleh Pemerintah AS untuk mengembalikan dana sebesar US$ 858 milyar tersebut? Atau mungkin, bagaimana jika ‘bom waktunya’ kembali ditunda meledaknya hingga dua atau tiga tahun mendatang? The Congressional Budget Office (CBO) atau Kantor Anggaran Kongres AS telah memberikan dua opsi pada Senat, DPR, dan Pemerintah AS.
Opsi pertama, kebijakan fiscal cliff harus diberlakukan, dimana pajak akan kembali dinaikkan dan anggaran belanja negara akan dikurangi. Jika opsi ini yang dipilih, maka berikut ini adalah beberapa implikasinya:
- Dalam jangka panjang, defisit AS akan berkurang dari 8.5% dari PDB di tahun 2011, menjadi hanya 1.2% di tahun 2021
- Di tahun 2021 tersebut, pendapatan negara akan meningkat menjadi 24% dari PDB, dibanding sebesar 18% pada saat ini
- Dalam sepuluh tahun kedepan, alias hingga tahun 2021, utang AS ‘hanya’ akan meningkat sebesar US$ 7 trilyun, dimana jika fiscal cliff ini tidak diberlakukan, maka peningkatan utang yang terjadi akan mencapai US$ 10 – 11 trilyun
- Terkait poin no. 3, maka utang AS hanya akan naik dari 69% PDB pada tahun 2011, menjadi 84% pada tahun 2035. Pada tahun 2013 alias dalam jangka pendek, pertumbuhan ekonomi AS akan tertekan dari 1.1% menjadi hanya 0.5%.
- Skenarionya, di semester pertama 2013 pertumbuhan ekonomi AS akan turun 1.3%, namun di semester kedua akan berbalik naik sebesar 2.3%.
Opsi kedua, kebijakan tax cuts diperpanjang, dimana pajak tidak jadi dinaikkan dan anggaran belanja negara juga tidak jadi dikurangi. Jika opsi ini yang dipilih, maka berikut adalah beberapa implikasinya: Pendapatan negara akan tetap sebesar 18% dari PDB pada tahun 2021 mendatang Utang AS akan meningkat dari 69% PDB pada tahun 2011, menjadi 100% pada tahun 2021, dan 190% pada tahun 2035.
- Jika ini terjadi, maka AS dipastikan akan menyusul beberapa negara di Eropa seperti Yunani dan Spanyol, yang saat ini tengah terlilit krisis utang
- Dalam jangka pendek, yakni pada tahun 2013 mendatang, perekonomian AS akan baik-baik saja alias akan tumbuh seperti biasanya, yakni sekitar 1.7 – 2.0% dalam setahun.
- Unemployment rate juga akan tetap terjaga di level 8.0%, dan tidak akan memburuk menjadi 9.1% jika fiscal cliff diberlakukan.
Jadi pertanyaannya sekarang, kebijakan manakah yang akan dipilih oleh Obama dkk? Of course, kita cuma hanya menunggu tanpa bisa menebak-nebak. Deadline dari keluarnya keputusan soal apakah kebijakan fiscal cliff atau tax cuts ini yang dipilih, adalah pada tanggal 31 Desember 2012 mendatang. Tapi sembari menunggu, mari kita cek pengaruh dari setiap keluarnya kebijakan Pemerintah AS terkait pajak ini terhadap market, dalam hal ini pergerakan indeks saham.
Fiscal Cliff, Debt Ceiling, Dow Jones, dan IHSG
Cerita soal fiscal cliff ini sedikit banyak mirip dengan cerita berjudul ‘Debt Ceiling Crisis’, yang sempat melanda Amerika pada Juni 2011. Ketika itu permasalan yang terjadi juga masih seputar utang, dimana Amerika dihadapkan pada dua pilihan: 1. Meningkatkan plafon utang untuk menghindari gagal bayar/default, atau 2. Membayar utang dengan cara meningkatkan pajak dan memotong anggaran belanja negara.
Jika opsi pertama yang dipilih, maka itu sama seperti menunda waktu meledak dari ‘bom utang’, dimana defisit dan jumlah utang AS akan meningkat signifikan. Namun sisi positifnya, dalam jangka pendek perekonomian AS akan baik-baik saja. Sementara jika opsi kedua yang dipilih, maka itu sama seperti fiscal cliff yang sudah kita bahas diatas: AS akan mengalami pertumbuhan ekonomi minus, namun defisit dan kenaikan jumlah utang AS akan berkurang, dimana hal itu bagus untuk jangka panjang.
Seperti cerita fiscal cliff yang sedang terjadi pada saat ini, ketika itu juga sempat terjadi perdebatan di kongres terkait debt ceiling. Hingga akhirnya pada Agustus 2011, keluar keputusan bahwa opsi yang dipilih adalah opsi pertama, dimana dipastikan bahwa perekonomian AS akan tetap tumbuh dalam jangka pendek. Secara teori, seharusnya hal itu direspon positif oleh pasar (karena tidak terjadi kenaikan pajak atau pemotongan subsidi dan tunjangan seperti yang dikhawatirkan).
Namun faktanya, setelah salah satu lembaga pemeringkat terkemukan di dunia, Standard & Poor’s (S&P), menurunkan rating utang AS, Dow Jones langsung jatuh berantakan, hanya dalam empat hari setelah Undang-Undang terkait debt ceiling ditandatangani (oleh Presiden Obama). Penurunan Dow ketika itu langsung diikuti oleh hampir seluruh indeks saham di seluruh dunia, termasuk IHSG. Anda mungkin masih ingat koreksi besar yang melanda IHSG pada Agustus – September 2011 lalu. Jadi dengan asumsi bahwa model kebijakan yang dipilih Obama kali ini adalah kembali fokus pada tujuan jangka pendek, maka opsi kebijakan fiscal cliff tidak akan dipilih, sehingga tetap tidak ada kenaikan pajak ataupun pemotongan tunjangan pensiun bagi warga Amerika.
Meski begitu, market tetap akan jatuh karena kekhawatiran akan meningkatnya defisit Amerika, yang mungkin akan ditandai dengan penurunan rating utang oleh salah satu dari Moody’s atau Fitch (soalnya S&P sudah), ataupun hal lainnya. Hanya memang, menurut penulis yang menjatuhkan bursa-bursa saham diseluruh dunia ketika itu adalah penurunan rating utang AS oleh S&P, dan bukan karena keputusan debt ceiling-nya. Artinya, jika nanti Obama lebih memilih untuk memperpanjang tax cuts dan menghindari fiscal cliff, maka pergerakan market, entah itu tetap bergerak normal atau terkoreksi, akan bergantung pada apa yang akan terjadi selanjutnya.
Sebaliknya, jika kebijakan fiscal cliff diberlakukan, maka market akan langsung jatuh tanpa perlu menunggu peristiwa apapun lagi. Karena jika fiscal cliff yang dipilih, maka bisa dipastikan bahwa pertumbuhan ekonomi Amerika akan negatif pada Semester Pertama 2013.
Lalu bagaimana dengan isu-isu lokal yang mungkin juga berpotensi terhadap pergerakan bursa lokal alias IHSG? Untungnya (atau sayangnya?) isu-isu politik di dalam negeri lebih diwarnai oleh kasus-kasus korupsi atau nikah kilat yang dilakukan oleh politisi tertentu, ketimbang isu perdebatan penyusunan Undang-Undang oleh para anggota DPR (yang mungkin itu karena para anggota dewan lebih suka jalan-jalan keluar negeri ketimbang bikin Undang-Undang).
Dan setiap kali KPK menetapkan status tersangka terhadap kader-kader partai tertentu, sejauh ini hal itu tidak berdampak apapun terhadap market. Sementara terkait isu ekonomi, boleh dibilang juga tidak ada cerita apa-apa kecuali beberapa isu kecil terkait kenaikan upah minimum buruh dan defisit neraca perdagangan. Penulis katakan isu kecil, karena secara keseluruhan perekonomian Indonesia relatif masih bagus (meski, kalau boleh jujur, tidak sebagus Singapura, India, atau Tiongkok), dan selama ini faktor-faktor yang mempengaruhi bursa lebih merupakan faktor luar ketimbang faktor dalam negeri. Termasuk ketika terjadi koreksi super-besar di tahun 2008 lalu, penyebabnya juga karena krisis mortgage di Amerika, sementara di dalam negeri sebenarnya tidak terjadi krisis apa-apa. Jadi dalam hal ini, maka mau tidak mau kita harus mencermati perkembangan soal fiscal cliff ini, ketimbang mengamati isu-isu lokal (karena memang tidak ada yang signifikan).
Namun satu hal, pertanyaan terkait terjadinya koreksi pada IHSG mungkin bukanlah soal apakah koreksi itu akan terjadi ataukah tidak, melainkan kapan. Secara fundamental, valuasi saham-saham di BEI sudah cukup tinggi, sementara dana asing yang masuk ke bursa juga sudah cukup banyak, yakni mencapai Rp14.2 trilyun sepanjang tahun 2012 hingga ketika artikel ini ditulis (bayangkan apa yang terjadi jika dana sebesar itu ditarik keluar dari pasar?). Jadi sekarang? Ya tinggal tunggu pemicunya saja, karena IHSG juga sudah susah untuk naik ke posisi psikologis baru, katakanlah 4,500 atau diatasnya. Dan entah kebetulan atau tidak, pemicu itu saat ini memang sudah ada, tinggal menunggu waktu meledaknya.
Nama pemicu tersebut adalah: ‘Fiscal Cliff’. Dan jangan lupakan juga : Krisis Spanyol (just because the media doesn’t talk about itu, doesn’t mean the crisis is over).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar